Pages

Monday, October 10, 2011

Wartawan Juga Harus Pintar "Acting"



Sebagai anak magang yang baru benar-benar belajar terun ke dunia reportase, saya dengan senang hati menerima tugas dari redaktur. LKBN Antara adalah tempat yang menerpa saya dan memberikan begitu banyak pelajaran serta kesempatan untuk menantang diri saya. Bagi sebagian orang, kantor berita nasional adalah media massa yang konsevatif dan condong ke pemerintah.
Namun pendapat tersebut tak sepenuhnya benar, nyatanya saya diberikan kebebasan berinisiatif dalam menggali berita dan dipercaya untuk melakukan liputan yang menantang diri. Meskipun dalam berita-berita tertentu khususnya yang menentang pemerintah, wartawannya tidak boleh terlalu keras dalam menulis. Kepercayaan dan kebebasan itulah yang membuat saya selalu bersemangat berangkat ke kantor. Pagi pukul 08.00 saya sudah sampai di Wisma Antara lantai 20.
Tim Redaksi di Antara penuh kekeluargaan. Salah satu orang yang hampir tiap pagi menyapa saya adalah Pak Arnas. ”Pagi Resi,” sapa laki-laki yang juga lulusan Fikom Unpad ini. Sekedar informasi, Pak Arnas ini seangkatan dengan Prof.Deddy Mulyana (Dekan Fikom Unpad sekarang). Selama magang di Antara, bisa dikatakan saya yang paling jarang dapat jatah liputan di tempat teduh dan berpendingin. Kalau tidak ke pasar ya ke perempatan atau meliput demo.
Saya bingung, apakah tipe muka menentukan tugas peliputan? Padahal muka saya tidak seperti setrikaan kusut. Memang belum ada teori jurnalistik yang menjelaskan landasan penugasan bedasarkan wajah. Tetapi, huznudzon saya, mungkin redaktur menilai saya lebih kuat matahari karena saya senang main bola. 
Ya, kembali ke tugas liputan. 24 Februari 2010, seperti biasa saya kebagian liputan di tempat yang bukan ruangan atau gedung. Sebelum ditugaskan biasanya redaktur menanyakan isu terhangat yang bisa digali atau mungkin ada undangan yang bisa dihadiri. Ketika itu, isu yang sedang ramai dibicarakan adalah kasus penjiplakan karya ilmiah yang dilakukan oleh sejumlah rektor. Untuk menggali sisi lain dari kasus tersebut, redaktur meminta saya mencari tahu seberapa besar pengaruh kasus penjiplakan skripsi terhadap jasa pembuatan skripsi.
Jasa pembuatan skripsi tentunya dilakukan secara ilegal. Biasanya tempat-tepat penerjemah dan jasa pengolahan data adalah tempat yang menerima pesanan skripsi. Salah satu tempat di Jakarta yang diperkirakan terjadi praktek penyedia jasa pembuatan skripsi adalah di perempatan Matraman, Jakarta Pusat.
Sekitar pukul 10.00 saya meluncur ke lokasi. Sepanjang jalan yang saya pikirkan adalah pertanyaan apa saja yang harus ditanyakan. Saya pun tak ambil pusing mengenai tugas liputan kali ini, karena mungkin tak akan berbeda jauh ketika saya liputan di pasar.
Memang dasar anak ingusan, sampe di lokasi tetap saja “pake acara bingung”. Ibarat anak kecil yang ke warung tapi bingung mau jajan apa. Dan anehnya, sesampainya dilokasi, saya merasa tidak nyaman. Rasanya berbeda dengan liputan lainnya. Bahkan, saya merasa lebih nyaman ketika liputan di perempatan cempaka mas dari pagi sampe sore.
Ah..mungkin hanya perasaan saja. Mungkin karena gerak-gerik saya aneh dan kelihatan bingung saya pun diperhatikan oleh beberapa orang. Saya langsung bergegas memberanikan diri bertanya pada seorang pemuda yang menjaga kios jasa pengetikan. “Mas, kalau mau bikin skripsi dimana yah?” ujar saya sambil berbisik. Berbisik adalah cara paling sopan untuk menanyakan sesuatu yang menurut saya ilegal atau mungkin lebih sopan pada diri saya karena saya akan banyak berbohong.
Dengan setengah percaya diri saya masuk lorong-lorong kios. Tiap kios berukuran sekira 2x3 meter. Dibatasi lorong jalan dengan lebar 1-1,5 meter, kios-kios tersebut saling berjejer rapat. Komputer-komputer yang digunakan untuk mengerjakan jasa yang mereka sediakan pun dapat dikatakan tipe lama.
Setelah melihat-lihat beberapa kios, saya menjatuhkan pilihan pada kios seorang bapak paruh baya. Anehnya, kedatangan saya tidak disambut dengan cukup ramah. Saya pun bertanya, “Pak, kalau mau buat skripsi bisa?”  Bapak tersebut tanpa senyum menjawab, “Iya, tunggu sebentar yah.”
Perasaa saya semakin tidak nyaman. Jangankan menanyakan namanya, belum sempat mengajak ngobrol, bapak tersebut langsung menghampiri anak buahnya sambil membisikan sesuatu dan langsung pergi. Entah, ia pergi kemana tapi yang pasti saya ditelantarkan begitu saja. Anak buahnya pun tak mencoba melayani saya.
Layaknya wartawan sungguhan, saya pun memprakterkan teori wartawan yang selalu diterapkan pada proses peliputan, yaitu banyak nanya. Saya pun bertanya pada anak buahnya mengenai jasa apa saja yang disediakan di kiosnya. Dengan singkat ia menjawab, “Ya, ngetikin, nerjemahin.” Jawaban ketus dan kurang ramahnya membuat saya bingung. Apakah ada yang salah dengan penampilan saya? Rasanya tidak. Tapi, tak puas sampai disitu, saya pun bertanya, “Kalau bikin skripsi bisa?”
            Tutur bicaranya makin ketus, “Oh tunggu bapak aja mba, saya ngga tau.” Dalam pikir saya, ya masa iya anak buah tidak tahu. Sekira sepuluh menit lebih saya menunggu, tapi bapak pemilik kios pun tak muncul-muncul. Ketika saya mulai gelisah, bapak tersebut datang dan menghampiri saya. “Ngga bisa mba, ketempat lain ajah,” ujar bapak tersebut tanpa senyum sedikitpun.
Berbagai spekulasi pun muncul dikepala mengenai sikap bapak itu. Namun, saya berusaha tetap berpikir positif, mungkin dia sedang banyak kerjaan. Kemudian saya mencoba ke kios lainnya. Saya pun menghampirki seorang laki-laki berjengot yang kiosnya berjarak beberapa kios dari kios yang saya datangi sebelumnya. Karena saya lihat cukup ramah, dengan yakin saya mengajak ngobrol laki-laki tersebut.
Pertanyaan serupa saya tanyakan mengenai jasa pembuatan skripsi. Ia pun memberikan jawaban yang mengagetkan. Bahkan ia memberikan pertanyaan yang sangat mengejutkan. “Saya sih tidak nerima tapi disini (kios-kios Matraman) ada. Maaf mba, mba wartawan yah?” tanya Fajar.
Setibanya tiba dilokasi, tidak terbersit dibenak saya kalau saya harus menyebunyikan indentitas saya sebagai wartawan. Tetapi karena ada beberapa keanehan yang saya temui saya pun harus sebisa mungkin menutupi identitas saya. “Bukan mas, saya mahasiswa. Hmm.. emang tampang saya kaya wartawan?” jawab saya sambil bergurau.
Tetapi hebat juga mas fajar ini bisa menebak dengan tepat. Lagi-lagi timbul pertanyaan, Apakah wajah saya menunjukan kalau saya wartawan? Apa wajah saya seperti catatan wartawan yang tulisannya jauh lebih jelek dari tulisan dokter?  
Saya pikir, jawaban yang akan dilontarkannya juga gurauan seputar wajah saya, ternyata tidak sama sekali.”Ya kalau mba itu wartawan, sebaiknya jangan kesini deh apalagi mau wawancara, bahaya. Orang disini semua pada benci wartawan,” ujarnya.
Pernyataan tersebut sontak membuat saya kaget dan sedikit takut. Pasalnya, menurutnya, ada wartawan yang pernah dipukuli karena ketahuan melakukan liputan. Ketidaksukaan orang-orang di kios-kios tersebut disebabkan akibat berita mengenai pembuatan paspor dan ijasah palsu ditempat ini. Kemudian, polisi pun membongkar praktek praktik ilegal tersebut.
Cerita tersebut tentu saya membuat saya sedikit takut. Apalagi melihat sikap bapak pemilik kios sebelumnya yang sungguh tidak ramah. “Orang sini sangat hati-hati, mungkin bapak tadi tau kalau mba wartawan, makanya ngga mau,” tutur penerjemah bahasa arab ini. Setelah mengobrol cukup lama, saya pun memutuskan untuk mencari kios lain. Sebelum saya pamit dan mengucapkan salam, ia berpesan agar saya hati-hati.
Perasaan semakin tak karuan. Kalau kata anak jaman sekarang, “Makin parno”. Pikiran saya yang paling ekstrim sekaligus konyol adalah “Apa dia paranormal?” Saya pun keluar dari lorong-lorong kios dan berdiri dipinggir jalan. Sempat terpikir untuk mundur karena takut setelah mendengar cerita dan peringatan dari penerjemah bahasa Arab tersebut. Tetapipi, apa secemen itu saya harus mundur.
Mau tidak mau, saya harus lanjutkan karena belum dapat berita dan informasi apapun mengenai berita yang ingin saya buat. Agar bisa lanjut dan aman, saya harus benar-benar berpura-pura menjadi mahasiswa yang ingin minta dibuatkan skripsi. Sambil tersenyum dan dalam hati berkata “Ayo ci, sekali-kali akting kan seru juga” saya pun mencari kios lain. Kemudian saya ditunjukan seseorang ke satu kios yang memang menyediakan jasa pembuatan skripsi.


Berbagai Modus Jasa Pembuatan Skripsi  
 Masuk lah saya ke lorong kios yang paling pojok dan tempatnya cukup jauh dari kios yang pertama kali saya datangi. Kios yang ini terlihat lebih cerah. Dengan cat tembok hijau muda membuat suasan jadi lebih nyaman dan tidak mencekam. Komputer yang digunakan pun terlihat lebih canggih dengan layar datar. Untuk keempat kalinya saya bertanya “Mas, kalau mau buat skripsi bisa?” dan untuk pertama kalinya pertanyaan saya tersebut mendapat jawaban “Ya bisa”.
Kami pun memulai obrolan mengenai pembuatan skirpsi yang disediakan. Dengan antusias Oyon,sang pemilik kios menanyakan skripsi yang ingin saya buat. “Jadi gini mas, saja tuh udah harus lulus tahun ini, tapi saya kan kerja jadi ga sempet buat skripsi,” tutur saya (yang ceritanya mahasiswa semerter akhir tapi tak lulus-lulus).
           Oyon menawarkan pembuatan skripsi dari awal hingga selesai sidang dengan harga sekitar Rp3,5 juta. Harga yang ditawarkan untuk pembuatan satu skripsi bergantung dengan tema dan permintaan yang diinginkan
        “Kita buatkan dari bab satu, kerangka hingga nanti selesai sidang termasuk jasa konsultasi. Kita juga yang mengembangkan skripsi tersebut, mulai dari metodologi sampai pengolahan data," ujar Oyon. Namun, menurutnya, jika mahasiswa tersebut sudah memiliki data, harga pembuatan skripsi bisa berkurang menjadi Rp2,5 juta.
           Perbincangan pun mengalir cukup santai. Layaknya pembeli dan penjual, tawar menawar harga pun tak luput dari perbincangan. Demi mendalami peran saya sebagai mahasiswa yang tak lulus-lulus saya pun bercerita seputar sulitnya lulus di jurusan saya. Untuk yang satu ini, saya tidak berpura-pura karena pada kenyataannya memang sulit dan lama lulus dari jurnalistik Fikom Unpad.
          Setelah meminta nomor telpon, saya pun pindah ke kios lain. Tak seperti kios milik Oyon, kios yang satu ini hanya ada meja dan bangku. Kesan sederhana tergambar dengan jelas. Ssederhana ruangannya, jasa pembuatan skripsi yang ditawarkan pun begitu sederhana, yakni hanya menjual data skripsi yang sudah jadi (soft copy). Ismed pemilik kios hanya menyediakan skripsi untuk jurusan Akuntansi dan Ekonomi.
        "Ini ada katalog judul-judul skripsi. Pilih aja kalau ada yang cocok nanti tinggal diganti nama penulis, perusahaan dan universitasnya," ujar Ismed. Ia menawarkan satu judul skripsi seharga Rp 400 ribu rupiah. Namun, jika pembeli ingin membeli lebih dari satu skripsi, ia bisa memberikan potongan harga.
         Seperti belanja di tanah Abang, saya begitu menikmati proses tawar menawar harga skripsi. “Temen saya juga mau kayanya. Kalau 500 ribu dapet dua boleh ga?” Ismed pun melepas dengan harga sekian.
         Saya cukup kagum karena semua skripsi yang ada dikatalog tersebut dibuat sendiri oleh Ismed. Dan yang jauh lebih mengagetkan adalah Ismed bahkan tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Laki-laki lulusan SMA ini belajar membuat skripsi secara otodidak. Bermula dari hanya mengetikan skripsi-skripi hingga kemudian ia mengerti isi skripsi-skripsi tersebut dan bisa membuat skripsi sendiri. Namun, kini dirinya memutuskan hanya menjual soft copy karena membuat skripsi butuh banyak proses, sedangkan menjual soft copy lebih gampang dan orang jadi lebih mudah.
         Ketika sedang asik mengobrol, perasaan saya tiba-tiba mulai tidak enak. Sebenarnya sejak di kios Oyon saya mulai merasa diikuti orang. Entah hanya “parno” karena cerita mas Fajar tadi, atau memang akting saya yang kurang sempurna sehingga menimbulkan kecurigaan. Antar kios saling berdempetan, sehingga apa yang diobrolkan bisa dilihat dan didengar oleh kios sebelahnya.
       Walau sudah merasa takut dan tidak nyaman, saya memutuskan untuk mewawancarai satu narasumber lagi kemudian pergi. Di kios terakhir saya benar-benar meraa dibuntuti orang. Ada orang yang terus memperhatikan saya. Demi menghindari hal yang tak diinginkan lebih baik saya pergi. Rasanya seperti benar-benar dikejar orang. Setelah menyebrang dan berada di shelter bus trans Jakarta Matraman saya benar-benar merasa tenang. Saya pun kembali ke kantor.
                Dari pengalaman liputan saya si anak magang yang berperan sebagai mahasiswa yang tak lulus-lulus bisa disimpulkan bahwa akting saya jauh dari bintang hollywood. Bagaimana tidak, baru bertemu narasumber pertama saja sudah ketahuan kalau saya wartawan.
        Beruntung dari rasa PD (Percaya Diri) dan nekat, pada narasumber ke tiga sampai kelima, akting saya cukup berhasil. Liputan ini adalah liputan paling berkesan karena dalam waktu yang bersamaan saya bisa merasakan banyak hal. Merasa konyol karena membayangkan bagaimana kalau saya benar-benar menjadi mahasiswa yang tak lulus-lulus. Apalagi kalau ingat jurusan Jurnal memang lama lulusnya. Merasa bodoh karena saya memang harus berpura-pura dan merasa bodoh kalau benar-benar harus pakai jasa pembuatan skripsi. Merasa takut karena membayangkan kalau saya tertangkap dan diketaui sebagai wartawan. Habislah saya.
         Seperti liputan-liputan lainnya, saya selalu menganggap liputan adalah sekolah gratis dimana selalu ada pelajaran baru yang tak terbayangkan. Dan kali ini saya benar-benar merasakan bahwa wartawan adalah profesi yang kompleks namun begitu sederhana. Komples karena harus mampu berperan sebagai apapun dan memposisikan diri dengan tepat. Namun, menjadi sederhana ketika tujuan kita adalah belajar sehingga terasa menyenangkan dan menantang. 

LKBN Antara 2010. Selalu di hati. 

Ya, nyatanya dalam keadaan terdesak, wartawan mau ngga mau harus bisa akting. Saya masih jauh dari kata "pandai berperan".  Semoga setidaknya, pengalaman ini bisa memberikan perspektif lain ketika melakukan liputan.

4 comments:

  1. uhuy...
    jadinya pengaruh gak tuh ci, banyaknya plagiat sama jasa pembuatan skripsi?

    ReplyDelete
  2. Like This! pasti ini deh yang tanggal 29. mungkin harus ada "keterangan" tambahan nantinya ;)

    ReplyDelete
  3. Lodra : ga ngaruh dar. mau profesor plagiat atau ngga, usaha ini tetep hidup, soalnya ada permintaan. Sama halnya kaya ijasah palsu yang masih ada ajah (di matraman itu juga bisa bikin ijasah palsu, paspor loh. ehehhe) ya, anggota DPR aja masih ada yg pake ijasah palsu...

    ReplyDelete
  4. Dina:
    maacih..
    eh keterangan tambahan apa? revisian iya.
    sbnrnya masih banyak yg harus ditambahin dari tulisan ini..

    ReplyDelete